Ramadhan disambut umat Islam di dunia dengan berbagai kebiasaan yang berbeda. Berpuasa di Turki, Jerman dan China, punya keunikan masing-masing.
Selain memiliki nilai religius, puasa juga punya nilai kehangatan. Nilai religius sudah banyak disampaikan oleh para ustaz yaitu hukumnya wajib sebagaimana yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 183. Puasa memiliki nilai kehangatan, ini sangat terasa ketika kita menjalankannya di tanah air Indonesia.
Menjalankan ibadah puasa di Indonesia terasa sangat hangat karena di bulan ini ramai acara buka puasa bersama, reuni teman-teman sekolah, pedagang yang menjual takjil membanjiri jalan-jalan hingga waktu bersama keluarga juga lebih intens. Saya merasakan kehangatan itu sejak kecil. Indonesia yang secara geografis jauh dari tempat lahirnya Islam di negeri Arab tidak mau kalah dalam menjalankan nilai-nilai keislaman tersebut. Bahkan bisa dikatakan lebih damai, toleran dan antusias.
Puasa kali ini merupakan puasa keempat saya di tanah rantau. Tepatnya di Negeri Tirai Bambu, Tiongkok. Karena saat ini saya sedang menempuh studi Doktoral di Southwest University, Chongqing, Tiongkok. Tiga puasa pertama saya di tanah rantau yaitu dua kali di Turki dan satu kali di Jerman. Semuanya saya tempuh di masa-masa studi.
Setiap negara memiliki ciri khas dan menyimpan cerita unik tersendiri. Cerita unik saat di Turki dan Jerman sudah saya tulis di buku Jelajah Hidup Tanpa Batas, yang diterbitkan oleh Elex Media pada tahun 2018.
Puasa di Turki, Negeri Dua Benua
Ketika menjalankan dua kali puasa di Turki tahun 2013 dan 2014, saya merasa tidak terlalu sulit beradaptasi. Mungkin karena Turki dan Indonesia memiliki banyak kesamaan. Antara lain sama-sama berpenduduk mayoritas muslim. Masjid-masjid besar dengan seni arsitektur ala Mimar Sinan menghiasi keindahan negeri ini. Satu-satunya yang membuat saya sedikit kaget karena saat itu merupakan pengalaman pertama saya menjalankan puasa di tanah rantau.
Hal yang sangat membekas yaitu ketika menjalankan puasa di Kota Istanbul, Turki yaitu ketika ngabuburit dengan berjalan-jelan melintasi Selat Bosphorus. Selat yang membelah antara benua Eropa dan benua Asia, sambil melihat keindahan lanskap bekas pusat kota Kekhalifahan Islam terakhir, Khalifah Utsmaniyah.
Sepanjang perjalanan melintasi Bosphorus menggunakan Vapur (kapal feri) kita bisa melihat di sebelah kanan dan kiri seperti Blue Mosque, Aya Shopia, Topkapi Palace, Istana Dolmabahce dan Kiz Kulesi. Termasuk bangunan-bangunan modern yang semakin membuat kota yang memadukan modernitas dan tradisional ini sangat indah. Kemolekan pemandangan ini rasanya sulit ditandingi di belahan dunia manapun. Kebahagiaan semakin lengkap ketika ikut buka puasa bersama di area Blue Mosque hingga lanjut salat tarawih di masjid yang nama aslinya Sultan Ahmet Camii dan memiliki 6 menara tersebut.
Puasa di Jerman
Puasa ketiga saya jalankan di Jerman, tepatnya di Kota Braunschweig. Saya berada di kota tersebut ketika menempuh program exchange student di Technische Universitat Braunschweig. Meskipun kontras dari segi budaya dan populasi muslim, namun Jerman termasuk negara yang sangat toleran. Di Jerman tidak sulit untuk menjumpai masjid bahkan di beberapa kota masjidnya besar. Di Kota Braunschweig ada sekitar 5 masjid yang biasa digunakan untuk salat Jumat dan tarawih. Di dalam kampus pun ada satu ruangan yang disediakan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah salat. Seperti salat dzuhur dan ashar.
Salah satu hal unik yang saya rasakan saat Ramadhan di sana ialah dominasi masyarakat Turki di Jerman. Cara paling mudah untuk menikmati buka puasa halal yaitu dengan berbuka di restaurant Turki yang menjual makanan khas seperti kebab, borek, pide hingga kofte. Bahkan mereka terkejut ketika saya bisa bercakap menggunakan bahasa Turki hingga kadang diberikan diskon.
Maklum warga Turki banyak yang bekerja, menetap hingga berubah kewarganegaraan Jerman. Hal ini tidak lepas dari sejarah masa lampau pasca-Perang Dunia II, di mana Jerman sedang membangun negeri dan membutuhkan banyak pekerja. Turki salah satu negara yang mendukung masyarakatnya untuk bekerja di Jerman. Saat ini warga Jerman keturunan Turki ada yang berprofesi sebagai penjual makanan, pejabat pemerintah hingga pemain bola, seperti Mesut Ozil.
Puasa di Negeri Tirai Bambu
Puasa keempat saya tahun ini yaitu di Chongqing, Negeri Tirai Bambu Tiongkok. Puasa kali ini bertepatan dengan musim semi. Kami berpuasa sekitar 15 jam. Jadwal salat subuh sekitar 04.30 dan berbuka pukul 19.45 waktu setempat. Di masjid dekat asrama kami juga biasa diadakan acara buka puasa dan salat tarawih bersama. Jamaahnya mayoritas pelajar asing dari Indonesia, Mesir dan negara-negara muslim dari Afrika. Juga ada penduduk lokal yang beragama Islam.
Masjid Beibei memiliki mimbar seperti mimbar di masjid-masjid Indonesia pada umumnya, ukiran kaligrafi dan meja yang di atasnya berjejer Al Quran. Kami menjalankan ibadah tarawih dengan 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir. Penjelasan lebih panjang tentang puasa di Tiongkok, akan saya ulas lebih panjang di lain kesempatan. Insya Allah.
Terakhir, sebagaimana narasi yang tertulis di Buku Jelajah Hidup Tanpa Batas. Hikmah yang didapat ketika kita menjelajah dari satu tempat ke tempat lain, kita tidak hanya mencari eksistensi sambil memperbaiki masa depan diri sendiri. Lebih dari itu, semakin banyak tempat dan orang yang kita temui, semakin pahamlah kita bahwa ada beragam keunikan di dunia, berbagai sifat manusia dan warna-warni kebudayaan, yang membuat kita yakin bahwa di atas langit masih ada langit, dan keyakinan itu akan memperkaya perspektif kita dalam melihat perbedaan.
*) Budy Sugandi adalah PhD Candidate, Jurusan Education Leadership and Management, Southwest University, Chongqing, Tiongkok dia telah menyelesaikan Master di Turki dan Jerman, menjadi Wakil Katib Syuriah PCINU Tiongkok dan Komisi Pendidikan PPI Dunia.
*) Artikel ini terselenggara atas kerja sama detikcom dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia (PPI Dunia).