Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) enggan menanggapi eksepsi tim kuasa hukum terdakwa kasus korupsi
proyek e-KTP, Setya Novanto, yang mempertanyakan peran mantan ketua DPR
tersebut dalam pusaran mega korupsi tersebut. Jaksa menilai eksepsi tim
kuasa hukum telah masuk dalam ranah pokok perkara. BESTPROFIT
Namun, jaksa Wawan Yunarwanto menuturkan, sejatinya peran Setya
Novanto telah tercantum dalam Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP tentang turut
serta. Dia menyebut ada tiga bentuk penyertaan seperti yang diatur dalam
pasal tersebut yakni; yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan
(doenpleger), dan yang turut serta melakukan (medepleger).
"(Pertanyaan tim kuasa hukum) kualifikasi terdakwa diletakan pada
forum keliru. Untuk mengetahui pelaku atau turut serta harus dibuktikan
terlebih dahulu yang di ranah pembuktian," ujar Wawan saat membacakan
tanggapan jaksa di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (28/12).
Dalam kesempatan itu, jaksa Wawan memaparkan lima peristiwa yang melibatkan mantan ketua umum Partai Golkar itu.
Pertama, terdakwa melakukan pertemuan di Hotel Grand Melia bersama
Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman, Sugiharto, dan Diah
Anggraini. Kedua, PT Murakabi Sejahtera dipersiapkan terdakwa dan Andi
sebagai perusahaan pendamping merupakan perusahaan yang dikendalikan
terdakwa melalui Irvanto yang tidak lain keponakan Setnov. Serta ada
tiga kali pertemuan yang melibatkan dirinya terkait pembahasan e-KTP.
Sebelumnya, Maqdir Ismail, ketua tim kuasa hukum Setya Novanto,
menilai jaksa penuntut umum pada KPK tidak konsisten dalam mendakwa
peran kliennya tersebut. Sebab, dari surat dakwaan milik tiga terdakwa
pada kasus yang sama; Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi
Narogong, peran mantan Ketua Umum Partai Golkar itu berbeda-beda.
"Peran terdakwa dalam dakwaan Irman, Sugiharto, berperan mengarahkan
perusahaan yang ikut serta dalam tender, dalam surat dakwaan Andi
berperan mengatur dan memenangkan perusahaan yang ikut tender, dalam
surat dakwaan Setya Novanto berperan melakukan intervensi," katanya saat
membacakan nota eksepsi tim kuasa hukum di Pengadilan Tipikor, Jakarta
Pusat, Rabu (20/12).
Perbedaan peran Setya Novanto pada proyek yang merugikan negara Rp
2,3 triliun, dianggap Maqdir sebagai ketidakcermatan jaksa penuntut umum
pada KPK dalam menyusun surat dakwaan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 143 Ayat 2 Huruf b
KUHAP yang berbunyi, 'uraian secara cermat jelas dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwa kan dengan menyebutkan waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan'.
"Uraian peran dalam ketiga surat terdakwa terdapat perbuatan materil
yang berbeda, tidak sesuai surat dakwaan, sesuai Pasal 143 ayat 2 huruf b
KUHAP," ujar Maqdir.
Seperti diketahui, ketua DPR non aktif tersebut didakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait proyek e-KTP
tahun anggaran 2011-2013. Setya Novanto didakwa memperkaya diri sendiri
sebesar USD 7.300.000 dan mendapat sebuah jam tangan mewah merek
Richard Mille seharga Rp 1,3 miliar.
Pria yang kerap disapa Setnov tersebut didakwa oleh jaksa penuntut
umum pada KPK dengan pasal 2 ayat 1 huruf a atau pasal 3 undang-undang
nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor
20 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto pasal
55 ayat 1 ke-1 KUHP