Rabu, 20 Desember 2017

JPU KPK enggan tanggapi peran Setnov di kasus e-KTP

Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) enggan menanggapi eksepsi tim kuasa hukum terdakwa kasus korupsi proyek e-KTP, Setya Novanto, yang mempertanyakan peran mantan ketua DPR tersebut dalam pusaran mega korupsi tersebut. Jaksa menilai eksepsi tim kuasa hukum telah masuk dalam ranah pokok perkara. BESTPROFIT 
Namun, jaksa Wawan Yunarwanto menuturkan, sejatinya peran Setya Novanto telah tercantum dalam Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP tentang turut serta. Dia menyebut ada tiga bentuk penyertaan seperti yang diatur dalam pasal tersebut yakni; yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger), dan yang turut serta melakukan (medepleger).
"(Pertanyaan tim kuasa hukum) kualifikasi terdakwa diletakan pada forum keliru. Untuk mengetahui pelaku atau turut serta harus dibuktikan terlebih dahulu yang di ranah pembuktian," ujar Wawan saat membacakan tanggapan jaksa di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (28/12).
Dalam kesempatan itu, jaksa Wawan memaparkan lima peristiwa yang melibatkan mantan ketua umum Partai Golkar itu.
Pertama, terdakwa melakukan pertemuan di Hotel Grand Melia bersama Andi Agustinus alias Andi Narogong, Irman, Sugiharto, dan Diah Anggraini. Kedua, PT Murakabi Sejahtera dipersiapkan terdakwa dan Andi sebagai perusahaan pendamping merupakan perusahaan yang dikendalikan terdakwa melalui Irvanto yang tidak lain keponakan Setnov. Serta ada tiga kali pertemuan yang melibatkan dirinya terkait pembahasan e-KTP.
Sebelumnya, Maqdir Ismail, ketua tim kuasa hukum Setya Novanto, menilai jaksa penuntut umum pada KPK tidak konsisten dalam mendakwa peran kliennya tersebut. Sebab, dari surat dakwaan milik tiga terdakwa pada kasus yang sama; Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong, peran mantan Ketua Umum Partai Golkar itu berbeda-beda.
"Peran terdakwa dalam dakwaan Irman, Sugiharto, berperan mengarahkan perusahaan yang ikut serta dalam tender, dalam surat dakwaan Andi berperan mengatur dan memenangkan perusahaan yang ikut tender, dalam surat dakwaan Setya Novanto berperan melakukan intervensi," katanya saat membacakan nota eksepsi tim kuasa hukum di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (20/12).
Perbedaan peran Setya Novanto pada proyek yang merugikan negara Rp 2,3 triliun, dianggap Maqdir sebagai ketidakcermatan jaksa penuntut umum pada KPK dalam menyusun surat dakwaan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 143 Ayat 2 Huruf b KUHAP yang berbunyi, 'uraian secara cermat jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwa kan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan'.
"Uraian peran dalam ketiga surat terdakwa terdapat perbuatan materil yang berbeda, tidak sesuai surat dakwaan, sesuai Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP," ujar Maqdir.
Seperti diketahui, ketua DPR non aktif tersebut didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013. Setya Novanto didakwa memperkaya diri sendiri sebesar USD 7.300.000 dan mendapat sebuah jam tangan mewah merek Richard Mille seharga Rp 1,3 miliar.
Pria yang kerap disapa Setnov tersebut didakwa oleh jaksa penuntut umum pada KPK dengan pasal 2 ayat 1 huruf a atau pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar