Jakarta, CNN Indonesia -- Pernyataan Ketua
Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tentang hasil kajian internasional
yang menyebut Indonesia bakal bubar pada 2030 harus dianggap sebagai
peringatan bagi Pemerintah. Namun, akurasi data perlu dipertanyakan.
Terlebih, indikasi Indonesia jatuh dalam kategori negara gagal atau negara yang berisiko belum terlihat. PT BESTPROFIT
Dalam sebuah unggahan video di Facebook Partai Gerindra, Prabowo Subianto menyebut Indonesia bakal bubar pada 2030. Sebabnya, ada ketimpangan penguasaan kekayaan dan tanah.
Terlebih, indikasi Indonesia jatuh dalam kategori negara gagal atau negara yang berisiko belum terlihat. PT BESTPROFIT
Dalam sebuah unggahan video di Facebook Partai Gerindra, Prabowo Subianto menyebut Indonesia bakal bubar pada 2030. Sebabnya, ada ketimpangan penguasaan kekayaan dan tanah.
Dalam video tersebut terpampang tulisan di belakan Prabowo "Konferensi Nasional dan Temu Kader".
Ia menambahkan bahwa itu terkait dengan perilaku elite politik saat ini.
"Ini yang merusak bangsa kita. Semakin pintar semakin tinggi kedudukan semakin curang, semakin culas, semakin maling!" serunya.
Sekretaris Jenderal partai Gerindra Ahmad Muzani pidato tersebut pernah disampaikan Prabowo. Menurutnya, Prabowo memang selalu menekankan wacana intelektual dan literatur serta pendapat ahli dalam menyampaikan pendapatnya.
"Beliau mengingatkan perlunya menjaga kesatuan, perlunya mengamalkan Pancasila, perlunya tetap memberikan perhatian kepada yang lemah," kata Muzani.
Pasalnya, katanya, gagalnya sebuah negara bisa disebabkan oleh kondisi di dalam maupun di luar negara itu. "Karena dimungkinkan Indonesia bubar bisa dari dalam atau luar," imbuh Muzani.
Jauh dari Realitas
Direktur Program Saiful Mujani Research Center (SMRC) Sirojudin Abbas mengatakan bahwa pernyataan itu merupakan bentuk peringatan oposisi terhadap pemerintah yang berkuasa tentang potensi-potensi konflik.
"Itu warning, bahwa risk itu ada memang dan harus direspon dengan baik. Pemerintah baiknya tidak bereaksi negatif terhadap itu anggap saja sebagai whistle blower, bahwa memang masih ada PR yang harus diperbaiki, termasuk merespons potensi-potensi yang jadi sumber konflik nantinya," jelas dia.
Namun demikian, lanjutnya, akurasi pernyatan itu patut diuji. Termasuk, soal penguasaan tanah, aset.
"Sejauh mana kritik Pak Prabowo punya dasar, itu warning saja, belum tentu punya dasar empiris dan akademis yang kuat," ujar peraih doktor bidang pembangunan sosial dari University of California, AS, ini.
Terlepas dari itu, Sirojudin mengakui Indonesia masih jauh dari indikasi-indikasi bubarnya sebuah negara.
"Belum terlihat indikasi-indikasi yang meyakinkan bahwa Indonesia akan masuk kelompok negara-negara berisiko tinggi terancam gagal seperti Somalia, Sudan, Irak, Syiria, Libya, Afganistan," ujarnya.
Dalam kajian National Intelligence Council bertajuk Global Trends 2030: Alternative Worlds yang dipublikasikan pada Desember 2012, tak terdapat nama Indonesia di jajaran negara-negara yang berisiko tinggi gagal pada 2030.
Daftar itu dipuncaki oleh Somalia, dan disusul oleh Burundi, Yaman, Uganda, Afganistan, Malawi, Republik Demokratik Kongo, Kenya, Nigeria, Niger, Pakistan, Chad, Haiti, Ethiopia, dan Banglades.
Kajian ini menyoroti tentang lemahnya pemerintah, keamanan yang minim, ekonomi yang rapuh, perebutan Sumber Daya Alam (SDA), serta konflik-konflik sipil.
Somalia juga memuncaki daftar Indeks Negara Rapuh 2017. Sementara, Indonesia ada di posisi 86, lebih kuat satu tingkat daripada China.
Sirojuddin mencontohkannya dengan Sudan dan Irak. Dua negara ini mulanya berkonflik di dalam negeri masing-masing akibat perebutan SDA., Yakni, konsesi penguasaan minyak. Kemudian milisi-milisi sipil bersenjata bermunculan. Hal itu memicu perang. Dunia internasional lantas terlibat dalam hal jual senjata.
"Indonesia jauh dari situasi itu," imbuhnya. "Kita konflik sangat minimal dibanding negara lain, pembunuhan dan kriminalitas dibanding AS jauh di bawah. Politik memang high risk tapi sejauh ini ter-manage dengan baik," jelasnya.
Hal ini tercermin dari hasil survei SMRC pada September 2017. Tingkat kepuasan masyarakat kepada kinerja Presiden Joko Widodo mencapai 74,3 persen, dengan tingkat ketidakpuasan mencapai 23,8 persen. Sebanyak 75,3 persen responden juga yakin atas kemampuan kepemimpinan Jokowi.
Selain itu, sebanyak 48,4 persen responden
menilai kondisi ekonomi nasional pada 2017 lebih baik dari tahun
sebelumnya; 17,5 persen menganggap ekonomilebih buruk; 28,9 persen
menilai tidak ada perubahan kondisi; 5,3 persen tidak menjawab.
"Dari sisi itu, legitimasi pemerintah yang ada saat ini sangat tinggi," ucapnya.
Sirojuddin juga menyebut bahwa aset tak lagi tersentralisasi pada kelompok tertentu seperti era Orde Baru. Ini bisa terlihat dari daftar orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes yang menampilkan figur-fogur lebih beragam.
"Artinya ruang-ruang pertumbuhan bagi bisnis di Indonesia sudah lebih terbuka," ujarnya.
"Bahwa memang mengangkat kemakmuran nasional secara umum tentu saja belum karena tingkat kesenjangan pendidikan, kesehatan antardaerah dan antarwilayah cukup tinggi. Memang butuh waktu," ujar Sirojudin.
"Dari sisi itu, legitimasi pemerintah yang ada saat ini sangat tinggi," ucapnya.
Sirojuddin juga menyebut bahwa aset tak lagi tersentralisasi pada kelompok tertentu seperti era Orde Baru. Ini bisa terlihat dari daftar orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes yang menampilkan figur-fogur lebih beragam.
"Artinya ruang-ruang pertumbuhan bagi bisnis di Indonesia sudah lebih terbuka," ujarnya.
"Bahwa memang mengangkat kemakmuran nasional secara umum tentu saja belum karena tingkat kesenjangan pendidikan, kesehatan antardaerah dan antarwilayah cukup tinggi. Memang butuh waktu," ujar Sirojudin.