Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan
aturan terkait kontrak bagi hasil di sektor Migas atau disebut
Production Sharing Contract (PSC) dengan sistem Gross Split. Aturan ini
dinilai tak lagi membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
jika dibandingkan skema cost recovery.
Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengatakan, pemerintah mematok dana cost
recovery sebesar USD 8,5 miliar dalam RAPBN-P tahun lalu. Namun,
realisasinya meningkat hingga USD 3 miliar menjadi USD 11,5 miliar.
"Tahun lalu, 2016, RAPBN-P mencadangkan USD 8,5 miliar, saya enggak
tahu angkanya dari mana karena saya juga baru. Tapi, realisasinya itu
USD 11,5 miliar, jadi APBN terkaget-kaget, karena ada tambahan USD 3
miliar. itu Rp 40 triliun lho," ujar Jonan dalam acara Indonesia Energi
Roadmap di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Rabu (25/1).
Jonan menceritakan, saat menjabat sebagai Menteri Perhubungan, dia
belum menemukan angka pembiayaan mencapai Rp 40 triliun. Padahal,
kementerian perhubungan pun melakukan pembangunan infrastruktur
transportasi di seluruh daerah.
"Waktu saya di sana (Kemenhub), bangun sebegitu banyak (infrastruktur) enggak ada Rp 40 triliun lho," tegasnya.
Untuk itu, lanjut dia, skema Gross Split yang ditetapkan saat ini
justru menguntungkan negara. Meskipun secara garis besarnya persentase
split (bagi hasil) negara berkurang, namun secara keseluruhan, negara
akan untung.
Dalam masa eksplorasi, kata Jonan, Kontraktor Kontrak Kerjasama
(KKKS) akan diberikan kesempatan untuk berinvestasi sendiri, misalnya
terkait biaya pengadaan barang untuk alat eksplorasi.
"Kita sudah coba Gross Split di PHE ONWJ. tujuannya juga untuk
mengurangi waktu, sehingga akan efisiensi dalam proses bisnis. Kalau
sekarang PSC Cost Recovery, itu proses pengadaannya, baik Chevron,
Exxon, dan KKKS lainnya itu menggunakan sama dengan procurement
pemerintah, nanti itu mandiri, dan ada insentif untuk TKDN," pungkasnya. BEST PROFIT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar